JAKARTA, KOMPAS.com " Ketua Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid mengatakan, ada sinyal tidak baiknya hubungan antara Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kepolisian RI. Hal itu, menurutnya, terlihat dalam pembahasan RUU Intelijen terkait kewenangan BIN. Dalam pembahasan RUU tersebut di DPR, kewenangan yang menjadi tarik-menarik antara BIN dan Polri tertuang pada Pasal 6 dan Pasal 31 RUU Intelijen tentang kewenangan khusus intelijen untuk melakukan penangkapan, pembekuan rekening, penyadapan telepon. "Itu artinya, BIN kesulitan menjalin hubungan dengan pihak kepolisian, atau sebaliknya, kepolisian sulit menjalin hubungan baik dengan BIN, atau yang lebih parahnya lagi, masing-masing institusi ini bersaing untuk mendapatkan informasi di lapangan sekaligus bersaing untuk mendapatkan proyek-proyek antiteror," ujar Usman dalam diskusi di Kine Forum Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (18/4/2011). Sejauh ini, kami telah menemukan beberapa fakta menarik tentang
. Anda mungkin memutuskan bahwa informasi berikut ini bahkan lebih menarik.
Usman mencontohkan, penembakan tersangka teroris di Tanjung Balai dan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumut, pada tahun 2010. Saat itu, Densus 88 turun ke lapangan tanpa memberi tahu aparat kepolisian setempat, khususnya Polda Sumatera Utara. Bahkan, setelah penembakan yang mengakibatkan tiga orang tewas, Kapolda melakukan protes melalui Menko Polhukam. "Tetapi, sampai saat ini tidak ada koreksi. Ini kan terlihat di dalam proses hukum Densus 88 seolah-olah semuanya benar," kata Usman. Namun, Usman menilai, hal tersebut tidak berdiri sendiri karena ada kepentingan politis di baliknya. Menurutnya, kepentingan politis dapat terjadi secara beragam, salah satunya dapat bertemu di titik yang paling praktis. "Paling praktis maksud saya, misalnya, ledakan bom terjadi ketika adanya suatu proses hukum terhadap seorang mantan pejabat, atau mantan kepala intelijen, atau mantan jenderal. Dengan peledakan bom itu, praktis akan mengalihkan perhatian masyarakat nantinya," pungkasnya.
Usman mencontohkan, penembakan tersangka teroris di Tanjung Balai dan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumut, pada tahun 2010. Saat itu, Densus 88 turun ke lapangan tanpa memberi tahu aparat kepolisian setempat, khususnya Polda Sumatera Utara. Bahkan, setelah penembakan yang mengakibatkan tiga orang tewas, Kapolda melakukan protes melalui Menko Polhukam. "Tetapi, sampai saat ini tidak ada koreksi. Ini kan terlihat di dalam proses hukum Densus 88 seolah-olah semuanya benar," kata Usman. Namun, Usman menilai, hal tersebut tidak berdiri sendiri karena ada kepentingan politis di baliknya. Menurutnya, kepentingan politis dapat terjadi secara beragam, salah satunya dapat bertemu di titik yang paling praktis. "Paling praktis maksud saya, misalnya, ledakan bom terjadi ketika adanya suatu proses hukum terhadap seorang mantan pejabat, atau mantan kepala intelijen, atau mantan jenderal. Dengan peledakan bom itu, praktis akan mengalihkan perhatian masyarakat nantinya," pungkasnya.
No comments:
Post a Comment