JAKARTA, KOMPAS.com " Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta lebih proaktif dalam menindaklanjuti dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI dalam bentrokan warga dengan TNI Angkatan Darat di Desa Setrojenar, Bulus Pesantren, Kebumen, Jawa Tengah, pada 16 April 2011. Presiden diminta mengembalikan supremasi hukum dan memutus impunitas TNI terhadap hukum. Desakan tersebut datang dari Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam), Institute Studi untuk Penguatan Masyarakat (INDIPT) Kebumen, dan Generasi Muda NU Kebumen. "Kita merasa pemerintah, terutama Pak SBY, harusnya mencoba lebih proaktif, tidak langsung percaya begitu saja karena jelas ada korbannya. Ada orang tertembak, lagi di sawah tiba-tiba kena peluru. Korbannya ada tapi pelakunya enggak ada," ungkap Direktur Eksekutif Elsam Indriaswati Saptaningrum dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (26/4/2011). Menurut Indriaswati, Presiden dapat mengembalikan supremasi hukum dan memutuskan impunitas (kekebalan) TNI terhadap hukum dengan membuka akses publik terhadap pemeriksaan anggota TNI yang diduga terlibat bentrokan oleh Pomdam IV Diponegoro. "Selama ini, proses hukum terhadap anggota TNI yang dilakukan POM TNI AD sangat tertutup," katanya. Sepertinya informasi baru ditemukan tentang sesuatu setiap hari. Dan topik
tidak terkecuali. Jauhkan membaca untuk mendapatkan berita lebih segar tentang
.
Anggota TNI yang terlibat bentrokan warga sering kali lepas dari pertanggungjawaban hukum. Ia juga menilai, hasil pemeriksaan POM IV Diponegoro yang menyatakan tidak adanya pelanggaran prosedur oleh anggota TNI dalam bentrokan tersebut tidak sesuai fakta. "Justru masyarakat sipil yang terancam dipidana karena perusakan. Empat warga disangka melakukan pidana perusakan, dua orang pidana pemukulan, dan satu orang pidana penghinaan terhadap TNI," ujarnya. Berdasarkan proses verifikasi data lapangan yang dilakukan Elsam bersama INDIPT Kebumen dan Generasi Muda NU Kebumen, terbukti bahwa TNI menggunakan kekuatan berlebihan dalam merespons penolakan masyarakat atas adanya pelatihan militer di Setrojenar. Contohnya, pengerahan jumlah pasukan TNI yang jauh lebih banyak dari warga atau sweeping yang dilakukan anggota TNI ke rumah-rumah warga pascabentrokan. "Jumlahnya, warganya hanya sekitar 150, TNI-nya ada sekitar tujuh kelompok yang menurut warga tiap kelompok ada 30 orang. Kemudian bukti adanya peluru di rumah warga, di tempat tidur," ujar Indriaswati. Akibatnya, 14 warga terluka akibat bentrokan dan dilarikan ke rumah sakit. "TNI juga menyerang kepala desa yang tidak ikut-ikutan. Saat sedang di sawah, tiba-tiba kena peluru," katanya. Dalam kesempatan yang sama, peneliti hukum dan hak asasi manusia Elsam, Wahyudi Djafar, menambahkan, bentrokan antara warga dan TNI di Setrojenar menyebabkan trauma warga. "Warga ketakutan. Belum berani pulang malam hari. Warga yang dirawat tidak kembali pulang ke Setrojenar, tetapi ke tempat lain. Aktivitas ibadah malam hari belum berlangsung sebagaimana mestinya. Trauma terlihat dari sikap anak-anak yang menangis lihat tentara," ucapnya.
Anggota TNI yang terlibat bentrokan warga sering kali lepas dari pertanggungjawaban hukum. Ia juga menilai, hasil pemeriksaan POM IV Diponegoro yang menyatakan tidak adanya pelanggaran prosedur oleh anggota TNI dalam bentrokan tersebut tidak sesuai fakta. "Justru masyarakat sipil yang terancam dipidana karena perusakan. Empat warga disangka melakukan pidana perusakan, dua orang pidana pemukulan, dan satu orang pidana penghinaan terhadap TNI," ujarnya. Berdasarkan proses verifikasi data lapangan yang dilakukan Elsam bersama INDIPT Kebumen dan Generasi Muda NU Kebumen, terbukti bahwa TNI menggunakan kekuatan berlebihan dalam merespons penolakan masyarakat atas adanya pelatihan militer di Setrojenar. Contohnya, pengerahan jumlah pasukan TNI yang jauh lebih banyak dari warga atau sweeping yang dilakukan anggota TNI ke rumah-rumah warga pascabentrokan. "Jumlahnya, warganya hanya sekitar 150, TNI-nya ada sekitar tujuh kelompok yang menurut warga tiap kelompok ada 30 orang. Kemudian bukti adanya peluru di rumah warga, di tempat tidur," ujar Indriaswati. Akibatnya, 14 warga terluka akibat bentrokan dan dilarikan ke rumah sakit. "TNI juga menyerang kepala desa yang tidak ikut-ikutan. Saat sedang di sawah, tiba-tiba kena peluru," katanya. Dalam kesempatan yang sama, peneliti hukum dan hak asasi manusia Elsam, Wahyudi Djafar, menambahkan, bentrokan antara warga dan TNI di Setrojenar menyebabkan trauma warga. "Warga ketakutan. Belum berani pulang malam hari. Warga yang dirawat tidak kembali pulang ke Setrojenar, tetapi ke tempat lain. Aktivitas ibadah malam hari belum berlangsung sebagaimana mestinya. Trauma terlihat dari sikap anak-anak yang menangis lihat tentara," ucapnya.
No comments:
Post a Comment