JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Institut Ilmu Pemerintahan Prof DR Ryaas Rasyid mengakui, kegagalan implementasi otonomi daerah sudah terlihat sejak awal pelaksanaan kebijakannya. Ryaas adalah salah satu penggagas kebijakan desentralisasi pemerintahan pasca reformasi. Ryaas malah dianggap sebagai Bapak Otonomi Daerah. Namun meski mengakui implemetnasi otonomi daerah sudah tak sesuai harapan sejak awal penerapannya, ia masih cukup optimistis bahwa kebijakan ini tetap merupakan solusi Indonesia masa depan. Ryaas yang membacakan orasi ilmiahnya dalam Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture XI di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, di Jakarta, Senin (22/8/2011), mengatakan, implementasi kebijakan otonomi daerah sebenarnya diarahkan untuk menghadirkan pemerintahan yang baik dengan ciri utama, kepemimpinan yang bersih, jujur, kompeten, manajemen pemerintahan yang efisien, transparan dan akuntabel, serta prioritas kebijakan yang tepat. "Tujuannya adalah percepatan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tujuan itu, maka konsep strategis dalam implementasi otonomi daerah berpijak pada tujuh pilar kebijakan," kata Ryaas. Jika Anda menemukan diri Anda bingung dengan apa yang Anda sudah membaca hingga saat ini, jangan putus asa. Semuanya harus jelas pada saat Anda selesai.
Tujuh pilar itu adalah penempatan sebanyak mungkin kewenangan dalam hubungan domestik kepada pemerintah daerah, penguatan peran DPRD dalam pemilihan kepala daerah dan pengawasan politik atas kinerja kepala daerah, pembinaan tradisi politik yang sesuai kultur setempat, peningkatan kualitas pelayanan publik, peningkatan efisiensi pengelolaan keuangan daerah, perwujudan desentralisasi fiskal, dan pemberdayaan nilai-nilai serta kelembagaan lokal untuk mengoptimalkan kreativitas dan partisipasi masyarakat. "Dalam imajinasi saya saat itu, implementasi otonomi daerah akan berjalan sesuai rencana dan kompetisi antardaerah dalam memajukan daerah mereka masing-masing akan segera mengambil tempat, sehingga kesejahteraan nasional akan terwujud lebih cepat," kata Ryaas yang juga mantan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Hanya saja menurut Ryaas, pada tahun pertama implementasinya (2001) sudah terlihat gejalayang tidak sehat dalam pemilihan kepala daerah. "Jual beli suara di DPRD terjadi di berbagai daerah. Distorsi ini bermula di sini dan berlanjut ke manajemen pemerintah daerah yang mulai diintervensi secara politik oleh elemen partai yang duduk di DPRD," kata Ryaas. Selain itu menurut Ryaas, penyusunan APBD tidak bebas dari titipan kepentingan partai. Pengangkatan pejabat daerah yang sudah sepenuhnya menjadi wewenang kepala daerah, juga telah memungkinkan diangkatnya mereka yagn tidak memiliki kompetensi untuk jabatan strategis. "Primordialisme mulai terlihat dalam proses rekrutmen PNS dan promosi pejabat," katanya.
Tujuh pilar itu adalah penempatan sebanyak mungkin kewenangan dalam hubungan domestik kepada pemerintah daerah, penguatan peran DPRD dalam pemilihan kepala daerah dan pengawasan politik atas kinerja kepala daerah, pembinaan tradisi politik yang sesuai kultur setempat, peningkatan kualitas pelayanan publik, peningkatan efisiensi pengelolaan keuangan daerah, perwujudan desentralisasi fiskal, dan pemberdayaan nilai-nilai serta kelembagaan lokal untuk mengoptimalkan kreativitas dan partisipasi masyarakat. "Dalam imajinasi saya saat itu, implementasi otonomi daerah akan berjalan sesuai rencana dan kompetisi antardaerah dalam memajukan daerah mereka masing-masing akan segera mengambil tempat, sehingga kesejahteraan nasional akan terwujud lebih cepat," kata Ryaas yang juga mantan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Hanya saja menurut Ryaas, pada tahun pertama implementasinya (2001) sudah terlihat gejalayang tidak sehat dalam pemilihan kepala daerah. "Jual beli suara di DPRD terjadi di berbagai daerah. Distorsi ini bermula di sini dan berlanjut ke manajemen pemerintah daerah yang mulai diintervensi secara politik oleh elemen partai yang duduk di DPRD," kata Ryaas. Selain itu menurut Ryaas, penyusunan APBD tidak bebas dari titipan kepentingan partai. Pengangkatan pejabat daerah yang sudah sepenuhnya menjadi wewenang kepala daerah, juga telah memungkinkan diangkatnya mereka yagn tidak memiliki kompetensi untuk jabatan strategis. "Primordialisme mulai terlihat dalam proses rekrutmen PNS dan promosi pejabat," katanya.
No comments:
Post a Comment